Kalo Cicak rame-rame, pasti bisa mengalahkan Buaya..!


cicak

Berbagai analisis telah muncul terkait kemungkinan adanya skenario besar untuk menghancurkan dan menghentikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang mengedepankannya secara halus, tersirat. Ada yang dengan cerdas dan tegas. Ada pula yang emosional. Semua itu tak membuat Kepolisian RI, sebagai “pihak tertuding”, bergeming.

Salah satu sorotan analisis menyangkut apa yang disebut ‘Dokumen 15 Juli 2009’. Dokumen ini berisi “pengakuan” Ary Muladi dan adik Anggoro Widjojo, Anggodo, yang lantas dijadikan bukti kepolisian untuk mengusut kasus suap di KPK. Tapi sebagian besar pengamat dan praktisi hukum mencurigai keberadaan dokumen tersebut. “Jangan-jangan memang benar ada apa-apanya. Polisi sampai bertemu Anggoro di Singapura, dan ini kita tidak melihatnya sebagai pertemuan biasa,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenal Arifin Muchtar di Jakarta, Selasa (13/10).

Sebelumnya, kuasa hukum KPK, Ahmad Rivai, mengungkapkan telah terjadi pertemuan antara petinggi kepolisian dengan Anggoro di Singapura. Menurut Zaenal, adalah sesuatu yang sangat janggal jika seseorang yang sudah menjadi tersangka dan diumumkan menjadi DPO, malah ditemui dan tidak ditangkap. “Ini menjadi catatan penting. Kok seolah-olah sangat akrab. Kemungkinan besar kan memang ada apa-apa,” sebut Zaenal.

Ary belakangan mencabut pernyataannya dalam dokumen yang dibuat pada 15 Juli itu. Sementara Anggodo tetap berkukuh pada pengakuannya yakni telah menggelontorkan sejumlah uang. KPK sendiri sudah membantah dokumen 15 Juli dengan sejumlah bukti. “Yang juga tak kalah mengherankan, mengapa pengakuan sepihak terus dipertahankan pihak kepolisian. Artinya ini sangat menarik untuk melihatnya. Mengapa polisi dalam hal ini terkesan sangat memaksa,” ujarnya.

Sementara Ahmad Rivai, Zaenal Arifin dan pendukung gerakan Cicak (Berani Lawan Buaya) “rebut”, pihak kepolisian justru terus bergerak. Mabes Polri membenarkan pihaknya tengah memburu Julianto alias Anto, orang yang disebut-sebut sebagai kurir atau penerima dana Rp5,1 miliar dari tersangka Ary Muladi untuk disampaikan ke pimpinan KPK. Seperti disebutkan dalam Dokumen 15 Juli, dana tersebut dimaksudkan untuk melobi pimpinan KPK agar dapat membebaskan Anggoro Widjojo dari kasus dugaan korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. “Kita sedang lidik,” kata Dir III Mabes Polri Brigjen Pol Yovieanes Mahar di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemarin.

Bentuk Pansel

Pemerintah segera membentuk panitia seleksi (Pansel) untuk memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru. Pembentukan itu didasari atas diberhentikannya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK. “Saya sudah meminta Menkumham (Andi Mattalatta) untuk membentuk panitia seleksi,” kata Mensesneg Hatta Radjasa di Istana Negara, kemarin. Keputusan pemberhentian tetap Antasari ini, imbuhnya, sudah ditandatangani Presiden beberapa hari yang lalu.

Antasari yang pernah menjadi orang paling ditakuti ini (oleh para koruptor tentunya), sekarang sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Ia didakwa dengan pasal pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP, dengan ancaman hukuman mati. Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pasal 32 mengatur bahwa, ‘Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: c.menjadi terdakwa karena  melakukan tindak pidana kejahatan’.

Pasal 33 UU KPK juga mengatur bahwa Presiden harus mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai prosedur yang ada dalam UU KPK, yakni melalui mekanisme pansel.

AYO DUKUNG

Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto

dikutip dari  harian global.com